Home Top Ad

Responsive Ads Here

Superblok sebagai Salah Satu Solusi Masalah Perkotaan

Share:

 Akhirnya, kiamat yang diramalkan suku Maya itu betulan terjadi, di kota-kota besar di negara ini. Kala kemarau, matahari panas memanggang, menyulut udara, hampir menyamai neraka. Kala hujan menderas, jalanan sudah serupa kubangan, banjir di mana-mana, macet di mana-mana.

Waktu tempuh yang setengah jam, misalnya, bisa molor hingga lima jam. Habis bahan bakar, habis tenaga, habis usia alias tua di jalan!

Memang benar adanya, bahwa ruang-ruang hijau telah menjelma hutan beton. Hunian bertumbuh sporadis, tak tentu arah (urban sprawl). Belum lagi permasalahan akut seperti transportasi masal yang kurang nyaman, pedestrian yang terokupasi oleh pedagang kaki lima, dan arus urbanisasi yang luber, tak terbendung.

Berbagai solusi telah coba diangkat untuk mengatasi masalah ini. Salah satunya adalah adanya konsep superblok. Superblok merupakan sebuah kawasan dalam kota yang mmengakomodasi beberapa fungsi sekaligus: hunian, ruang bekerja, pendidikan, kuliner, fasilitas kesehatan, pusat perbelanjaan serta ajang hiburan. Kawasan ini sering disebut juga mix used alias multiguna.


Secara fisik bisa diterjemahkan dengan adanya apartemen, perkantoran, mal, sekolah, kampus yang dibangun di satu komplek sebagai buah rancang yang terintegrasi. Konsep ini sudah mulai dikembangkan sejak awal abad 20-an di Eropa oelh Bapak Arsitektur Modern, Le Corbusier.

Kini di Jakarta, bisa kita temui misalnya Season City, Central Park Podomoro City, Bukit Podomoro, Sudirman CDB, Mega Kuningan, dll. Superblok juga telah ada di Surabaya, Cirebon, bahkan Yogyakarta.

Superblok merupakan sebuah upaya kontrol ruang dengan memaksimalkan fungsi baik dari sisi densitas perkapita maupun aktifitas. Contoh mudahnya, sebuah lahan seluas 10 hektar, maka cukup 3 hektar saja yang dibangun. Sisanya biarkan tetap hijau.

Sebuah upaya untuk meminimalkan KDB (Koefisien Dasar Bangunan). Di tengah kota, rumah-rumah dengan orientasi horizontal sudah tidak relevan. Singkatnya, boros lahan. Di samping dalam perhitungan memang tidak masuk analisa kelayakan karena lahan perkotaan telah demikian mahalnya.

Sementara ini, kota mandiri yang selama ini ada belum benar-benar menjadi kota yang mandiri. Kota mandiri disebut mandiri ketika mampu menyediakan lapangan kerja bagi warganya. Pada kenyataannya, orang yang tinggal di Depok pun mencari nafkah di daerah Ancol atau Tangerang. Jutaan penglaju jelas memacetkan jalan.

Artinya, kota mandiri masih perlu karib untuk mengatasi masalahnya, bernama superblok. Superblok diharapkan memperpendek jarak tempuh. Pendeknya jarak tempuh menghemat bahan bakar dan mengurangi polusi. Superblok yang baik juga menyediakan ruang pejalan kaki yang aman nyaman dan ruang-ruang publik yang aktif sepanjang waktu, dari pagi hingga malam. Demikian idealnya.

Faktanya, superblok pada akhirnya hanya menjadi kumpulan gedung yang kebetulan berdiri di tempat yang berdekatan, namun saling egois. Tak ada alur sirkulasi yang saling menghubungkan satu sama lain. Bagian depan dipagar tembok tinggi, bahkan dijaga satpam, sehingga masyarakat tak bisa bebas mengaksesnya.

Pasar yang mampu membeli hunian dan menikmati berbagai fasilitas di kawasan superblok pun terbatas kalangan menengah ke atas. Batas KLB (Koefisien Lantai Bangunan) pun sering dilanggar oleh pengembang demi kalkulasi ekonomi, yang berakibat ketidaksiapan penyediaan infrastruktur yang memadai, seperti suplai air bersih, penyediaan lahan parkir, pengelolaan sampah, dan permasalahan lain.

Serupa membuka kotak Pandora, ketika yang didapati hanyalah keburukan demi keburukan, namun tetap menyisa harapan. Harapan untuk sesuatu yang lebih baik patut terus ada.  Mungkin, kita hanya perlu bekerja lebih keras.



Tidak ada komentar